Saat Terbaik untuk Diam

Ketika Maryam tengah larut beribadah dalam mihrabnya, tiba-tiba malaikat Jibril datang untuk menyampaikan berita bahwa Maryam akan memiliki seorang anak suci yang kelak akan menjadi nabi dan rasul. Sudah pasti Maryam terkejut dan terheran. Bagaimana bisa ia akan mendapatkan seorang anak, sedang belum pernah ada seorangpun yang menyentuhnya, dan Maryam adalah perempuan suci. Namun, demikianlah keputusan Allah.  

Maka, Maryam pun mengandung. Ketika saat melahirkan sudah dekat, Maryam mengasingkan diri ke tempat yang jauh. Ia bersandar pada sebatang pohon kurma. Lalu, lahirlah Isa putra Maryam. Kelahirannya yang tanpa ayah menjadi tanda kebesaran dan kekuasaan Allah. Selepas kelahiran Isa, fitnah dan tuduhan kepada Maryam sudah menanti. Benar saja. Saat Maryam kembali kepada kaumnya dengan menggendong bayi Isa, Bani Israil menuduh dan memfitnah dengan sangat keji.

Allah Maha Mengetahui segalanya. Sebelumnya, Allah telah berpesan kepada Maryam agar jika bertemu dengan seseorang, katakanlah bahwa aku sedang berpuasa untuk tidak berbicara dengan siapapun.

“…Jika engkau melihat seseorang, maka katakanlah, ‘Sesungguhnya aku bernazar berpuasa untuk Tuhan Yang Maha Pengasih, maka aku tidak akan berbicara dengan siapapun pada hari ini.’” (QS. Maryam [19]: 26).

Mengapa Allah memerintahkan Maryam untuk diam? Karena, meski dijelaskan kisah sebenarnya, mereka tidak akan percaya. Mereka akan tetap menuduh dan memfitnah Maryam dengan keji. Maka, biarlah Allah yang membungkam mulut-mulut mereka. Kemudian, Allah ilhamkan kepada Maryam agar menunjuk kepada bayinya.

Warga Bani Israil terheran-heran, “Bagaimana kami akan berbicara dengan anak kecil yang masih dalam ayunan?”

Atas kuasa Allah, Isa ‘alaihissalam yang masih dalam buaian itu berbicara dengan fasihnya. Maka, terbantahlah semua tuduhan Bani Israil terhadap Maryam dan terbungkamlah mulut mereka. Inilah cara Allah membungkam mulut Bani Israil yang lancang menuduh dan memfitnah Maryam. Ajaib.

Belajar dari Bunda Maryam, pernahkah Anda dituduh melakukan suatu perbuatan tercela, namun sebenarnya Anda tidak pernah melakukannya? Semua sorot mata tertuju kepada Anda dan seolah menghakimi. Anda disudutkan dan seperti tiada celah untuk membela diri. Jika Anda menghadapi situasi seperti itu, bagaimana sikap Anda?

Biasanya ketika menghadapi situasi tersebut, kebanyakan orang bereaksi melakukan pembelaan. Berdebat keras untuk membuktikan bahwa tuduhan itu tidak benar, bahkan sebuah fitnah. Ini wajar sebetulnya. Siapa yang rela nama baiknya dicemarkan? Pastinya tidak ada.

Namun demikian, dalam menghadapi situasi seperti itu, belajar dari Bunda Maryam, ada kalanya diam lebih baik. Yang penting kita telah menjelaskan duduk persoalan sebenarnya. Jika masih ada yang tidak percaya dengan penjelasan kita, abaikan saja. Tak perlu dilayani dan berdebat dengannya. Biarlah pada waktunya Allah yang akan menyingkap kebenaran sesungguhnya. Tugas Anda adalah tetap istiqamah dalam kebenaran dan kebaikan.

Penulis : Muhammad Syafi’ie el-Bantanie (Konseptor Pesantren Tahfizh Green Lido)

Tukang Kayu Masuk Surga

Seluruh warga Antokia, salah satu kota dalam kekaisaran Romawi, mendustakan dua rasul utusan Allah. Hingga, Allah menguatkan dengan mengutus rasul ketiga, namun para rasul itu tetap didustakan. Bahkan, mereka mengumpat para rasul dan mengancam akan membunuh mereka jika para rasul itu tetap menyampaikan risalah Islam (QS. Yasin [36]: 14 – 19).

Di tengah situasi yang tidak kondusif seperti itu, tiba-tiba datanglah seorang laki-laki berlari terengah-engah yang berasal dari pelosok kota. Namanya Habib bin Suri An-Najar. Tiada warga Antokia yang mengenalnya. Ia memang bukan dari kalangan bangsawan, melainkan hanya seorang tukang kayu. Warga Antokia memandang sinis kepada Habib.

Laki-laki itu, Habib, membenarkan risalah Islam yang dibawa oleh para rasul itu. Habib juga mengajak warga Antokia agar mengikuti ajaran para rasul Allah itu.

“Hai kaumku, ikutilah rasul-rasul itu. Ikutilah orang yang tidak meminta balasan kepadamu, dan mereka (para rasul) adalah orang-orang yang mendapat petunjuk.” (QS. Yasin [36]: 20 – 21).

Namun, warga Antokia berkeras dalam kekafirannya, terutama dari kalangan bangsawan. Mereka marah kepada Habib yang dinilai menambah gaduh masyarakat dengan ajaran baru tersebut. Karena, warga Antokia dari kalangan lapisan bawah mulai terpengaruh dengan ajakan Habib agar mengikuti para rasul. Para bangsawan Antokia bersepakat menjadikan Habib sebagai target sasaran pembunuhan.

Habib pun terbunuh dengan mengenaskan. Isi perutnya terburai karena ditikam oleh para pembunuhnya. Dalam keadaan sakaratul maut itu, para rasul Allah itu datang menghampiri Habib. Mereka sangat bersedih melihat keadaan Habib. Ketika itulah,  Habib menyampaikan persaksian keimanannya di hadapan para rasul.

“Sesungguhnya aku telah beriman kepada Tuhanmu, maka dengarkanlah (pengakuan keimananku).” (QS. Yasin [36]: 25).

Teramat singkat Habib belajar kepada para rasul. Namun, teramat cepat keimanan menghunjam dalam hatinya. Imannya menuntunnya untuk membela dan mendukung dakwah para rasul meski nyawa taruhannya. Imannya membuatnya sangat berhasrat ingin menjadi jalan hidayah bagi kaumnya.

Maka, teramat indah jawaban Allah atas persaksian keimanan Habib dan keteguhannya dalam berdakwah. Allah membalasnya dengan surga, “Dikatakan (kepadanya), ‘Masuklah ke surga.’ (QS. Yasin [36]: 26).

Kebeningan hati Habib membuatnya tidak menaruh dendam sedikitpun kepada kaumnya. Ketika surga telah ditampakkan di pelupuk matanya saat ujung sakaratnya, Habib masih sempat-sempatnya memikirkan kaumnya, “Dia (laki-laki itu) berkata, ‘Alangkah baiknya sekiranya kaumku mengetahui, apa yang menyebabkan Tuhanku memberi ampun kepadaku dan menjadikan aku termasuk orang-orang yang telah dimuliakan.’” (QS. Yasin [36]: 27).

Belajar dari kisah Habib An-Najar, sejatinya tiada peran kelas II dalam dakwah. Siapapun diri kita, sejatinya kita mengemban tugas dakwah. Sekecil apapun peran kita dalam dakwah, sejatinya memiliki nilai di sisi Allah. Tak ada peran pelengkap dalam dakwah. Tiada beda antara si penggali parit dengan si penyusun strategi nan rumit. Tiada beda antara si penyaji masakan dengan si pengambil kebijakan.

Bukankah anjing Ashabul Kahfi disebut secara khusus dalam Al-Qur’an sampai tiga kali. Mengapa? Karena, anjing tersebut bersama para pemuda kahfi di jalan dakwah. Bahkan, selonjorannya anjing Ashabul Kahfi dikisahkan dalam Al-Qur’an, “Wa kalbuhum basithun dzira’aihi bil washid.” (QS. Al-Kahfi [18]: 18).

Mengapa? Karena, selonjorannya anjing Ashabul Kahfi bukan sembarangan selonjoran. Selonjorannya punya maksud, yaitu menghalangi pandangan orang-orang agar tidak melihat para pemuda kahfi yang tertidur di dalam gua.

Lihatlah, jika anjing saja, yang perannya hanya selonjoran di mulut gua, mendapat apresiasi dari Allah. Apatah lagi peran-peran kita dalam perjuangan dakwah Islam. Sejatinya, tiada peran kelas dua dalam dakwah. Satu-satunya yang membedakan kedudukan kita adalah ketulusan dan keikhlasan kita dalam berdakwah.

Karena itu, jangan sia-siakan waktu dan kesempatan. Renungkanlah apakah rencana karya dan kontribusi terbaik kita bagi dakwah Islam? Mumpung masih diberi kesempatan usia dan kesehatan.

Penulis: Muhammad Syafi’ie el-Bantanie (Konseptor Pesantren Tahfizh Green Lido)

Saat Hijrah Baru Setengah Jalan

Oleh: Muhammad Syafi’ie el-Bantanie

(Konseptor Pesantren Tahfizh Green Lido)

Ketika perintah hijrah telah turun dan tersampaikan, maka muslimin secara bergelombang hijrah ke Madinah. Sejatinya, hijrah bukanlah perintah yang mudah. Keimanan muslimin benar-benar diuji. Hijrah menyebabkan muslimin harus rela meninggalkan semua harta dan asetnya di Mekah. Hijrah juga menyebabkan terpisahnya muslimin dengan keluarganya yang masih kafir.

Selain itu, perjalanan Mekah ke Madinah sekira 487 Km bukanlah perjalanan sederhana untuk ditempuh. Perlu kekuatan fisik dan perbekalan. Karenanya, ada golongan yang mendapat rukhshah (keringanan) untuk tidak berhijrah, yaitu laki-laki dan perempuan yang lemah, juga anak-anak yang tidak memiliki daya upaya serta tidak mengetahui jalan untuk berhijrah (QS. An-Nisa [4]: 98).

Mereka inilah golongan yang mudah-mudahan Allah memberikan pemaafan kepada mereka. Namun demikian, penggunaan kata ‘asa pada ayat 99 surat An-Nisa yang menjelaskan pengharapan pemberian maaf dari Allah, menunjukkan makna bahwa pikirkanlah berulang-ulang apakah kalian benar-benar tidak mampu berhijrah? Apakah kalian benar-benar termasuk golongan yang diberikan keringanan untuk tidak berhijrah?

Salah satu muslimin yang tidak berhijrah adalah Dhamrah bin Jundub. Usianya memang tidak muda, 85 tahun. Tentu saja ia termasuk golongan yang diberikan keringanan untuk tidak berhijrah. Namun, nyatanya Dhamrah tidak tenang tinggal di Mekah. Ia membayangkan betapa indah dan nikmatnya hidup di Madinah bersama Rasulullah. Alangkah syahdunya shalat berjama’ah di belakang Rasulullah di Masjid Nabawi.

Dhamrah kembali merenungi ayat-ayat Al-Qur’an tentang perintah hijrah itu. Perhatiannya tertumpu pada lafadz “walaa yahtaduuna sabiila” (mereka yang tidak mengetahui jalan). Dhamrah gelisah. Ia berpikir dalam. Ia memang sudah tua, namun ia tahu jalan dari Mekah menuju Madinah. Jangan-jangan dirinya tidak termasuk orang yang diberikan keringanan oleh Allah, sehingga tidak berhak atas pemaafan dari-Nya.

Dhamrah berpikir berulang-ulang, apakah ia harus menyusul hijrah ataukah tetap tinggal di Mekah? Keluarganya menyarankan agar Dhamrah tetap tinggal di Mekah. Usianya yang sudah renta, tidak memungkinkan melakukan perjalanan sejauh itu. Namun, akhirnya Dhamrah membulatkan tekad untuk berhijrah ke Madinah. Perbekalanan disiapkan untuk mengarungi perjalanan sejauh 487 Km.

Pada hari yang ditentukan, Dhamrah hijrah meninggalkan kampung halamannya, Mekah, menuju kota nabi yang bercahaya, Madinah Al-Munawarah. Takdir Allah menjumpainya. Baru setengah perjalanan hijrah, kematian menjemput Dhamrah.

Tersiarlah kabar kematian Dhamrah kepada keluarganya di Mekah dan muslimin di Madinah. Keluarga Dhamrah berujar, “Andaikan Dhamrah mau mendengar nasihat kita, mungkin kematian tidak menjemputnya di tengah perjalanan. Tujuan hijrahnya pun berlum tercapai.”

Sementara sebagian muslimin di Madinah juga berujar, “Andai Dhamrah telah sampai Madinah, maka hijrahnya terpenuhi dan pahalanya sempurna.”

Sungguh, Allah Maha Mengetahui ketulusan niat hamba-Nya dalam berhijrah. Dia-lah Yang Maha Mengetahui segala isi hati. Dia pula sebaik-baik pemberi balasan. Tidak lama berselang dari kematian Dhamrah, Allah menurunkan surat An-Nisa ayat 100 untuk menjawab dugaan-dugaan yang berkembang.    

“Dan sesiapa yang berhijrah di jalan Allah, niscaya mereka akan mendapatkan di bumi ini tempat hijrah yang luas dan (rezeki) yang banyak. Barang siapa keluar dari rumahnya dengan maksud berhijrah karena Allah dan rasul-Nya, kemudian kematian menimpanya (sebelum sampai ke tempat yang dituju), maka sungguh, pahalanya telah ditetapkan di sisi Allah. Dan, Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang.” (QS. An-Nisa [4]: 100).

Dengan ayat ini, Allah menerangkan bahwa telah sempurna pahala hijrah bagi Dhamrah meskipun belum sampai ke Madinah. Hal ini karena ketulusan niatnya dalam berhijrah. Keridhaan Allah-lah yang dituju dalam perjalanan hijrahnya. Belajar dari kisah hijrahnya Dhamrah, jangan pernah menunda untuk berhijrah. Kita tidak pernah tahu kapan ajal menjemput kita. Sejatinya, hijrah itu kemuliaan sejak awalnya, prosesnya, dan akhirnya. Bahkan, ketika sedang meniti jalan hijrah, lalu maut menjemput kita, mudah-mudahan Allah menetapkan dan menyempurnakan pahala hijrah kita sebagaimana janji-Nya.