Opini
All the news that are relevant for our small community
Oleh: Muhammad Syafi’ie el-Bantanie
(Konseptor Pesantren Tahfizh Green Lido)
Ketika perintah hijrah telah turun dan tersampaikan, maka muslimin secara bergelombang hijrah ke Madinah. Sejatinya, hijrah bukanlah perintah yang mudah. Keimanan muslimin benar-benar diuji. Hijrah menyebabkan muslimin harus rela meninggalkan semua harta dan asetnya di Mekah. Hijrah juga menyebabkan terpisahnya muslimin dengan keluarganya yang masih kafir.
Selain itu, perjalanan Mekah ke Madinah sekira 487 Km bukanlah perjalanan sederhana untuk ditempuh. Perlu kekuatan fisik dan perbekalan. Karenanya, ada golongan yang mendapat rukhshah (keringanan) untuk tidak berhijrah, yaitu laki-laki dan perempuan yang lemah, juga anak-anak yang tidak memiliki daya upaya serta tidak mengetahui jalan untuk berhijrah (QS. An-Nisa [4]: 98).
Mereka inilah golongan yang mudah-mudahan Allah memberikan pemaafan kepada mereka. Namun demikian, penggunaan kata ‘asa pada ayat 99 surat An-Nisa yang menjelaskan pengharapan pemberian maaf dari Allah, menunjukkan makna bahwa pikirkanlah berulang-ulang apakah kalian benar-benar tidak mampu berhijrah? Apakah kalian benar-benar termasuk golongan yang diberikan keringanan untuk tidak berhijrah?
Salah satu muslimin yang tidak berhijrah adalah Dhamrah bin Jundub. Usianya memang tidak muda, 85 tahun. Tentu saja ia termasuk golongan yang diberikan keringanan untuk tidak berhijrah. Namun, nyatanya Dhamrah tidak tenang tinggal di Mekah. Ia membayangkan betapa indah dan nikmatnya hidup di Madinah bersama Rasulullah. Alangkah syahdunya shalat berjama’ah di belakang Rasulullah di Masjid Nabawi.
Dhamrah kembali merenungi ayat-ayat Al-Qur’an tentang perintah hijrah itu. Perhatiannya tertumpu pada lafadz “walaa yahtaduuna sabiila” (mereka yang tidak mengetahui jalan). Dhamrah gelisah. Ia berpikir dalam. Ia memang sudah tua, namun ia tahu jalan dari Mekah menuju Madinah. Jangan-jangan dirinya tidak termasuk orang yang diberikan keringanan oleh Allah, sehingga tidak berhak atas pemaafan dari-Nya.
Dhamrah berpikir berulang-ulang, apakah ia harus menyusul hijrah ataukah tetap tinggal di Mekah? Keluarganya menyarankan agar Dhamrah tetap tinggal di Mekah. Usianya yang sudah renta, tidak memungkinkan melakukan perjalanan sejauh itu. Namun, akhirnya Dhamrah membulatkan tekad untuk berhijrah ke Madinah. Perbekalanan disiapkan untuk mengarungi perjalanan sejauh 487 Km.
Pada hari yang ditentukan, Dhamrah hijrah meninggalkan kampung halamannya, Mekah, menuju kota nabi yang bercahaya, Madinah Al-Munawarah. Takdir Allah menjumpainya. Baru setengah perjalanan hijrah, kematian menjemput Dhamrah.
Tersiarlah kabar kematian Dhamrah kepada keluarganya di Mekah dan muslimin di Madinah. Keluarga Dhamrah berujar, “Andaikan Dhamrah mau mendengar nasihat kita, mungkin kematian tidak menjemputnya di tengah perjalanan. Tujuan hijrahnya pun berlum tercapai.”
Sementara sebagian muslimin di Madinah juga berujar, “Andai Dhamrah telah sampai Madinah, maka hijrahnya terpenuhi dan pahalanya sempurna.”
Sungguh, Allah Maha Mengetahui ketulusan niat hamba-Nya dalam berhijrah. Dia-lah Yang Maha Mengetahui segala isi hati. Dia pula sebaik-baik pemberi balasan. Tidak lama berselang dari kematian Dhamrah, Allah menurunkan surat An-Nisa ayat 100 untuk menjawab dugaan-dugaan yang berkembang.
“Dan sesiapa yang berhijrah di jalan Allah, niscaya mereka akan mendapatkan di bumi ini tempat hijrah yang luas dan (rezeki) yang banyak. Barang siapa keluar dari rumahnya dengan maksud berhijrah karena Allah dan rasul-Nya, kemudian kematian menimpanya (sebelum sampai ke tempat yang dituju), maka sungguh, pahalanya telah ditetapkan di sisi Allah. Dan, Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang.” (QS. An-Nisa [4]: 100).
Dengan ayat ini, Allah menerangkan bahwa telah sempurna pahala hijrah bagi Dhamrah meskipun belum sampai ke Madinah. Hal ini karena ketulusan niatnya dalam berhijrah. Keridhaan Allah-lah yang dituju dalam perjalanan hijrahnya. Belajar dari kisah hijrahnya Dhamrah, jangan pernah menunda untuk berhijrah. Kita tidak pernah tahu kapan ajal menjemput kita. Sejatinya, hijrah itu kemuliaan sejak awalnya, prosesnya, dan akhirnya. Bahkan, ketika sedang meniti jalan hijrah, lalu maut menjemput kita, mudah-mudahan Allah menetapkan dan menyempurnakan pahala hijrah kita sebagaimana janji-Nya.