Opini
All the news that are relevant for our small community
Seluruh warga Antokia, salah satu kota dalam kekaisaran Romawi, mendustakan dua rasul utusan Allah. Hingga, Allah menguatkan dengan mengutus rasul ketiga, namun para rasul itu tetap didustakan. Bahkan, mereka mengumpat para rasul dan mengancam akan membunuh mereka jika para rasul itu tetap menyampaikan risalah Islam (QS. Yasin [36]: 14 – 19).
Di tengah situasi yang tidak kondusif seperti itu, tiba-tiba datanglah seorang laki-laki berlari terengah-engah yang berasal dari pelosok kota. Namanya Habib bin Suri An-Najar. Tiada warga Antokia yang mengenalnya. Ia memang bukan dari kalangan bangsawan, melainkan hanya seorang tukang kayu. Warga Antokia memandang sinis kepada Habib.
Laki-laki itu, Habib, membenarkan risalah Islam yang dibawa oleh para rasul itu. Habib juga mengajak warga Antokia agar mengikuti ajaran para rasul Allah itu.
“Hai kaumku, ikutilah rasul-rasul itu. Ikutilah orang yang tidak meminta balasan kepadamu, dan mereka (para rasul) adalah orang-orang yang mendapat petunjuk.” (QS. Yasin [36]: 20 – 21).
Namun, warga Antokia berkeras dalam kekafirannya, terutama dari kalangan bangsawan. Mereka marah kepada Habib yang dinilai menambah gaduh masyarakat dengan ajaran baru tersebut. Karena, warga Antokia dari kalangan lapisan bawah mulai terpengaruh dengan ajakan Habib agar mengikuti para rasul. Para bangsawan Antokia bersepakat menjadikan Habib sebagai target sasaran pembunuhan.
Habib pun terbunuh dengan mengenaskan. Isi perutnya terburai karena ditikam oleh para pembunuhnya. Dalam keadaan sakaratul maut itu, para rasul Allah itu datang menghampiri Habib. Mereka sangat bersedih melihat keadaan Habib. Ketika itulah, Habib menyampaikan persaksian keimanannya di hadapan para rasul.
“Sesungguhnya aku telah beriman kepada Tuhanmu, maka dengarkanlah (pengakuan keimananku).” (QS. Yasin [36]: 25).
Teramat singkat Habib belajar kepada para rasul. Namun, teramat cepat keimanan menghunjam dalam hatinya. Imannya menuntunnya untuk membela dan mendukung dakwah para rasul meski nyawa taruhannya. Imannya membuatnya sangat berhasrat ingin menjadi jalan hidayah bagi kaumnya.
Maka, teramat indah jawaban Allah atas persaksian keimanan Habib dan keteguhannya dalam berdakwah. Allah membalasnya dengan surga, “Dikatakan (kepadanya), ‘Masuklah ke surga.’ (QS. Yasin [36]: 26).
Kebeningan hati Habib membuatnya tidak menaruh dendam sedikitpun kepada kaumnya. Ketika surga telah ditampakkan di pelupuk matanya saat ujung sakaratnya, Habib masih sempat-sempatnya memikirkan kaumnya, “Dia (laki-laki itu) berkata, ‘Alangkah baiknya sekiranya kaumku mengetahui, apa yang menyebabkan Tuhanku memberi ampun kepadaku dan menjadikan aku termasuk orang-orang yang telah dimuliakan.’” (QS. Yasin [36]: 27).
Belajar dari kisah Habib An-Najar, sejatinya tiada peran kelas II dalam dakwah. Siapapun diri kita, sejatinya kita mengemban tugas dakwah. Sekecil apapun peran kita dalam dakwah, sejatinya memiliki nilai di sisi Allah. Tak ada peran pelengkap dalam dakwah. Tiada beda antara si penggali parit dengan si penyusun strategi nan rumit. Tiada beda antara si penyaji masakan dengan si pengambil kebijakan.
Bukankah anjing Ashabul Kahfi disebut secara khusus dalam Al-Qur’an sampai tiga kali. Mengapa? Karena, anjing tersebut bersama para pemuda kahfi di jalan dakwah. Bahkan, selonjorannya anjing Ashabul Kahfi dikisahkan dalam Al-Qur’an, “Wa kalbuhum basithun dzira’aihi bil washid.” (QS. Al-Kahfi [18]: 18).
Mengapa? Karena, selonjorannya anjing Ashabul Kahfi bukan sembarangan selonjoran. Selonjorannya punya maksud, yaitu menghalangi pandangan orang-orang agar tidak melihat para pemuda kahfi yang tertidur di dalam gua.
Lihatlah, jika anjing saja, yang perannya hanya selonjoran di mulut gua, mendapat apresiasi dari Allah. Apatah lagi peran-peran kita dalam perjuangan dakwah Islam. Sejatinya, tiada peran kelas dua dalam dakwah. Satu-satunya yang membedakan kedudukan kita adalah ketulusan dan keikhlasan kita dalam berdakwah.
Karena itu, jangan sia-siakan waktu dan kesempatan. Renungkanlah apakah rencana karya dan kontribusi terbaik kita bagi dakwah Islam? Mumpung masih diberi kesempatan usia dan kesehatan.
Penulis: Muhammad Syafi’ie el-Bantanie (Konseptor Pesantren Tahfizh Green Lido)